Rabu, 07 Mei 2014

Kemauan Kuat, Kunci Utama Terhindar dari Resistan Obat


Januari, 2014

Aku mengalami batuk berdahak, memang tidak berdarah, tapi tidak kunjung sembuh. Berobat ke puskemas sudah, berbekal obat batuk dari puskesmas, aku rutin meminumnya namun tidak ada tanda bahwa batuk dan dahaknya menghilang. Ku coba berobat ke Klinik, pun disana sama, hanya obat batuk yang tidak jauh berbeda dengan puskesmas yang di beri. Kata dokter, jika dalam tiga hari tidak kunjung sembuh,datanglah kembali. Kala itu, aku tidak menghiraukan himbauan dokter, ku jalani saja aktifitas ku seperti biasa. Lambat laun, bulan demi bulan, batuk ini menyiksa ku. Udara seolah menjadi tidak bebas ku hirup, sesak, dahak, serta penat. Aku semakin kurus, nafsu makan ku berkurang, kondisi kesehatan ku semakin memburuk.

Segera aku search google, gejala batuk berdahak yang ku alami. Muncul dalam mesin pencarian, sebuah nama penyakit yang tidak asing lagi bagiku, TB, atau lebih dikenal dengan nama TBC (Tuberculosis). Tidak asing karena sejak zaman sekolah SD, penyakit ini sudah ada dalam buku pelajaran, sudah sering di bahas oleh guruku. Masih ingat perkataan guruku, bahwa TBC adalah Sebuah penyakit yang dapat disembuhkan, namun bisa menjadi epidemik penyakit kematian jika diabaikan. Kepalaku pening memikirkannya, Jika aku? Ah,pikiran negatif dan kecemasan  akhirnya memberanikan ku untuk tes serangkaian medis di sebuah rumah sakit.

Maret, 2014


Setelah menjalani tes dahak dan rontgen. Dokter menyatakan bahwa 90%, aku dipastikan mengidap penyakit TB Paru. Seandainya hati ku adalah sebuah gelas kaca, maka saat divonis itu hatiku pecah bekeping-keping, semangat hidupku seolah meredup. Bagaimana penyakit ini menular kepadaku? Siapa? Dan sekarang, dengan kondisi penyakit TB ini, apakah masih ada yang mau berteman dengan ku? Dekat denganku? Aku benar benar shock dengan penyakit ini. Saat itu dokter menyuruhku untuk ke sebuah ruangan, DOTS namanya. Di ruang inilah aku menemukan semangat hidup, semangat konsisten meminum obat yang sudah dianjurkan oleh dokter.

Dia, seorang ibu muda yang tidak mau aku panggil dengan sebutan‘Dok‘ juga tidak mau kupanggil dengan sebutan ‘Suster‘. Maka kupanggil ia dengan sebutan hangat ‘Ibu‘. Dia, yang akan kutemui selama dua bulan dalam 4 kali pertemuan, ditambah 4 bulan dalam satu kali pertemuan. Berarti ada 8 kali pertemuan dalam kurun waktu 6 bulan. Dan itu adalah masa yang paling minimal dalam pengobatan TB.

“Tong Dietang-etang, upami di etang mah tebih“ (Jangan dihitung-hitung, semakin kamu hitung, semakin lama nantinya)

Katanya dalam bahasa sunda, ketika aku untuk pertama kalinya masuk kedalam ruangannya mengeluh, dan berpikir bahwa begitu lama dan membosankannya pengobatan penyakit TB. Beliau memberi satu jenis obat yang setiap harinya harus aku minum langsung 3 buah, setelah bangun tidur, saat tidak ada makanan yang masuk dalam lambungku. Yang kini ku tahu, obat primer penderita TB itu komposisinya terdiri dari INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

“Obat ini adalah obat keras, maka pemberian dosisnya pun bertahap dari yang dosisnya kecil, jika badanmu menunjukkan penolakan segera hubungi dokter. Jika badanmu mengalami peningkatan kesehatan, tetap konsistem meminum obatnya. Beri tambahan telur rebus dan susu putih setiap hari, dua jam setelah meminum obat“ Ujarnya dalam bahasa Indonesia dicampur dengan aksen sundanya yang kental.

“Aku mau sembuh, maka aku harus rutin minum obatnya setiap hari“ kataku dalam hati, seolah ia mampu membaca pikiranku ia pun berkata

“Kalau obatnya tidak diminum dengan rutin, nanti kuman-kuman yang disini“ sambil nunjukkin hasil rontgen ku  “Kumannya akan membentuk kekebalan baru terhadap obatnya, maka kamu akan jauh lebih lama lagi berobat disini, minum obat pun dengan dosis yang lebih tinggi lagi, kamu mau?“

Aku menggeleng cepat. Tidak.

Disuatu Pertemuan Di Ruang DOTS


Disuatu pagi di ruangan DOTS sambil menunggu obat, dan menunggu lain hal, maka seperti biasa aku mengobrol dengan ibu penghuni DOTS yang ramah ini. Dia menjelaskan bahwa resisten obat itu sama seperti kekebalan dalam virus di komputer. Virus mampu mengupgrade dirinya menghadapi anti virus. Sama halnya dengan TB, perlawanan bisa terjadi ketika bakteri, virus, dan parasit lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya membunuh mereka. Kenapa hal ini terjadi? Karena penggunaaan antibiotik yang tidak tepat (dosis dan  anjuran) dan Pasien yang tidak konsisten dalam meminum obat.

Bagaimana agar tidak terhindar dari Resisten Obat, setelah aku menjalani pengobatan TB, ini sedikit Tips untuk Penderita TB

1.   Kemauan kuat untuk sembuh. Dengan pondasi dari dalam diri, maka akan selalu menjadi pengingat kita, pengatur waktu untuk rutin minum obat. Sembuh, menjadi misi utama bagi penderita yang memiliki kemauan kuat,
2.     Ada interaksi dan korelasi yang harmonis pasien dan dokter, tidak hanya dokter memberi obat, dan pasien wajib meminumnya. Tetapi harus ada saling komunikasi yang terjalin diantara keduanya,
3.    Dokter harus lebih teliti, dan peduli dalam pemberian dosis yang bertahap. Dan sebagai pasien hendaknya kita cerewet, dalam hal apapun ke dokter, agar tidak terjadi resisten obat dalam tubuh,
4.      Pasien harus konsisten meminum obat secara rutin.





Sumber Referensi:


1 komentar: