Kemauan Kuat, Kunci Utama Terhindar dari Resistan Obat
Januari, 2014
Aku mengalami batuk berdahak, memang tidak berdarah, tapi tidak kunjung sembuh. Berobat ke puskemas sudah, berbekal obat batuk dari puskesmas, aku rutin meminumnya namun tidak ada tanda bahwa batuk dan dahaknya menghilang. Ku coba berobat ke Klinik, pun disana sama, hanya obat batuk yang tidak jauh berbeda dengan puskesmas yang di beri. Kata dokter, jika dalam tiga hari tidak kunjung sembuh,datanglah kembali. Kala itu, aku tidak menghiraukan himbauan dokter, ku jalani saja aktifitas ku seperti biasa. Lambat laun, bulan demi bulan, batuk ini menyiksa ku. Udara seolah menjadi tidak bebas ku hirup, sesak, dahak, serta penat. Aku semakin kurus, nafsu makan ku berkurang, kondisi kesehatan ku semakin memburuk.
Segera aku search google, gejala batuk berdahak yang ku alami. Muncul dalam
mesin pencarian, sebuah nama penyakit yang tidak asing lagi bagiku, TB, atau lebih dikenal dengan nama TBC (Tuberculosis). Tidak
asing karena sejak zaman sekolah SD, penyakit ini sudah ada dalam buku
pelajaran, sudah sering di bahas oleh guruku. Masih ingat perkataan guruku,
bahwa TBC adalah Sebuah penyakit
yang dapat disembuhkan, namun bisa menjadi epidemik penyakit kematian jika
diabaikan. Kepalaku pening memikirkannya, Jika aku? Ah,pikiran negatif dan
kecemasan akhirnya memberanikan ku untuk
tes serangkaian medis di sebuah rumah sakit.
Maret, 2014
Setelah menjalani
tes dahak dan rontgen. Dokter menyatakan bahwa 90%, aku dipastikan mengidap
penyakit TB Paru. Seandainya hati ku
adalah sebuah gelas kaca, maka saat divonis itu hatiku pecah bekeping-keping,
semangat hidupku seolah meredup. Bagaimana penyakit ini menular kepadaku? Siapa?
Dan sekarang, dengan kondisi penyakit TB
ini, apakah masih ada yang mau berteman dengan ku? Dekat denganku? Aku benar
benar shock dengan penyakit ini. Saat itu dokter menyuruhku untuk ke sebuah
ruangan, DOTS namanya. Di ruang inilah aku menemukan semangat hidup, semangat
konsisten meminum obat yang sudah dianjurkan oleh dokter.
Dia,
seorang ibu muda yang tidak mau aku panggil dengan sebutan‘Dok‘ juga tidak mau
kupanggil dengan sebutan ‘Suster‘. Maka kupanggil ia dengan sebutan hangat ‘Ibu‘.
Dia, yang akan kutemui selama dua bulan dalam 4 kali pertemuan, ditambah 4
bulan dalam satu kali pertemuan. Berarti ada 8 kali pertemuan dalam kurun waktu
6 bulan. Dan itu adalah masa yang paling minimal dalam pengobatan TB.
“Tong
Dietang-etang, upami di etang mah tebih“ (Jangan dihitung-hitung, semakin kamu
hitung, semakin lama nantinya)
Katanya
dalam bahasa sunda, ketika aku untuk pertama kalinya masuk kedalam ruangannya
mengeluh, dan berpikir bahwa begitu lama dan membosankannya pengobatan penyakit
TB. Beliau memberi satu jenis obat
yang setiap harinya harus aku minum langsung 3 buah, setelah bangun tidur, saat
tidak ada makanan yang masuk dalam lambungku. Yang kini ku tahu, obat primer
penderita TB itu komposisinya
terdiri dari INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
“Obat ini
adalah obat keras, maka pemberian dosisnya pun bertahap dari yang dosisnya
kecil, jika badanmu menunjukkan penolakan segera hubungi dokter. Jika badanmu
mengalami peningkatan kesehatan,
tetap konsistem meminum obatnya. Beri tambahan telur rebus dan susu putih
setiap hari, dua jam setelah meminum obat“ Ujarnya dalam bahasa Indonesia
dicampur dengan aksen sundanya yang kental.
“Aku mau
sembuh, maka aku harus rutin minum obatnya setiap hari“ kataku dalam hati,
seolah ia mampu membaca pikiranku ia pun berkata
“Kalau
obatnya tidak diminum dengan rutin, nanti kuman-kuman yang disini“ sambil nunjukkin
hasil rontgen ku “Kumannya akan
membentuk kekebalan baru terhadap obatnya, maka kamu akan jauh lebih lama lagi
berobat disini, minum obat pun dengan dosis yang lebih tinggi lagi, kamu mau?“
Aku
menggeleng cepat. Tidak.
Disuatu Pertemuan Di Ruang DOTS
Disuatu
pagi di ruangan DOTS sambil menunggu obat, dan menunggu lain hal, maka seperti
biasa aku mengobrol dengan ibu penghuni DOTS yang ramah ini. Dia menjelaskan
bahwa resisten obat itu sama seperti kekebalan dalam virus di komputer. Virus
mampu mengupgrade dirinya menghadapi
anti virus. Sama halnya dengan TB,
perlawanan bisa terjadi ketika bakteri, virus, dan parasit lainnya secara
bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya membunuh mereka.
Kenapa hal ini terjadi? Karena penggunaaan antibiotik yang tidak tepat (dosis
dan anjuran) dan Pasien yang tidak
konsisten dalam meminum obat.
Bagaimana
agar tidak terhindar dari Resisten Obat, setelah aku menjalani pengobatan TB, ini sedikit Tips untuk Penderita TB
1. Kemauan
kuat untuk sembuh. Dengan pondasi dari dalam diri, maka akan selalu menjadi
pengingat kita, pengatur waktu untuk rutin minum obat. Sembuh, menjadi misi
utama bagi penderita yang memiliki kemauan kuat,
2. Ada
interaksi dan korelasi yang harmonis pasien dan dokter, tidak hanya dokter
memberi obat, dan pasien wajib meminumnya. Tetapi harus ada saling komunikasi
yang terjalin diantara keduanya,
3. Dokter
harus lebih teliti, dan peduli dalam pemberian dosis yang bertahap. Dan sebagai
pasien hendaknya kita cerewet, dalam hal apapun ke dokter, agar tidak terjadi
resisten obat dalam tubuh,
4.
Pasien
harus konsisten meminum obat secara rutin.
Sumber Referensi:
Semangat ya mbak....
BalasHapus